Rabu, 03 Mei 2017

Sistem Tanam Jarwo (Jajar Legowo) dan SRI (System of Rice Intencification)

PERBANDINGAN ANTARA SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DENGAN SISTEM TANAM SRI (SYSTEM OF RICE INTENCIFICATION)


1.      SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO
Sistem tanam jajar legowo memiliki jumlah rumpun per satuan luas lebih banyak dibandingkan cara tanam tegel yang setara, misalnya tanam tegel 25 cm x 25 cm memiliki populasi 160.000 rumpun per ha, sedangkan legowo 2:1 yang setara dengan 25-50 cm x 12,5 cm memiliki populasi 213.333 rumpun. Orientasi pertanaman jajar legowo meskipun pada populasi yang sama berpeluang menghasilkan gabah yang lebih tinggi karena lebih banyaknya fotosintesis yang terjadi, karena lebih efektifnya pertanaman menangkap radiasi surya dan mudahnya difusi gas CO2 untuk fotosintesis

Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen agronomis tanaman, terutama pada jumlah anak maksimum dan jumlah anakan produktif. Sedangkan pada tinggi tanaman pengaruhnya tidak nyata. Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen hasil dan hasil, terutama pada panjang malai, jumlah gabah per malai, dan hasil gabah kering panen, dan tidak berpengaruh nyata pada persentase gabah hampa serta bobot 1000 butir. Sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan hasil gabah kering panen sekitar 19,90-22%. Untuk mendapatkan hasil yang optimal disarankan menggunakan sistem tanam secara jajar legowo.

Sistem tanam jajar legowo (jarwo) merupakan sistem tanam yang memperhatikan larikan tanaman dan merupakan tanam berselang seling antara dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Tujuannya agar populasi tanaman per satuan luas dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan. Pola tanam legowo menurut bahasa Jawa berasal dari kata “lego” yang berarti luas dan “dowo” atau panjang. Cara tanam ini pertama kali diperkenalkan oleh Bapak Legowo, Kepala Dinas Pertanian kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada prinsipnya sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Sistem tanam ini juga memanipulasi tata letak tanaman, sehingga rumpun tanaman sebagian besar menjadi tanaman pinggir. Tanaman padi yang berada di pinggir akan mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak, sehingga menghasilkan gabah lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik. Pada cara tanam legowo 2:1, setiap dua baris tanaman diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak barisan, namun jarak tanam dalam barisan dipersempit menjadi setengah jarak tanam aslinya.


KELEBIHAN

Jarak tanam yang lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji. Lebih lebarnya jarak antar barisan dapat memperbaiki total radiasi cahaya yang ditangkap oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil. Oleh sebab itu, penerapan sistem tanam jajar legowo yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat hampir dapat dipastikan akan meningkatkan produktivitas tanaman padi dan keuntungan bagi petani, sedangkan perluasannya secara nasional dapat meningkatkan produksi padi.

Jarak tanam yang optimum akan memberikan pertumbuhan bagian atas tanaman dan pertumbuhan bagian akar yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari serta memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam yang terlalu rapat akan mengakibatkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang sangat hebat dalam hal cahaya matahari, air, dan unsur hara. Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil tanaman rendah.

Sistem tanam jajar legowo menjadikan semua tanaman atau lebih banyak menjadi tanaman pinggir. Tanaman pinggir akan memperoleh sinar matahari lebih banyak, sirkulasi udara yang lebih baik, dan tanaman akan memperoleh unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan cara tanam tegel. Populasi yang lebih tinggi pada sistem tanam jajar legowo memberi peluang untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Keragaan varietas pada jarak tanam lebar (40cm x 40cm) berbeda dibandingkan dengan jarak tanam rapat terutama pada jumlah malai. Adanya lorong kosong pada sistem legowo mempermudah pemeliharaan tanaman, seperti pengendalian gulma dan pemupukan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Jarak tanam mempengaruhi panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per ha tanaman padi.

KELEMAHAN

Kelemahan sistem tanam jajar legowo, adalah senyawa fenolat yang bersifat allelopati dalam jerami dan akar tanaman. Dari 10 varietas padi yang diuji memiliki asam fenolat dalam tanaman berkisar antara 260 ppm (pada varietas IR64) hingga 777 ppm (pada varietas Merning) yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan tanaman pada jarak tanam rapat, maupun residunya bagi pertanaman berikutnya. Jenis padi Javanica dan padi beras merah memiliki senyawa alelo kimia yang tinggi sehingga tidak sesuai untuk tanam rapat. Selain itu, pada sistem tanam jajar legowo, persaingan perakaran tanaman dalam penyerapan air dan hara berlangsung intensif. Oleh sebab itu, varietas padi yang toleran kekeringan atau adaptif pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah berpotensi menghasilkan gabah yang lebih tinggi pada cara tanam jajar legowo dibandingkan dengan cara tegel. Varietas padi yang relatif toleran kekeringan dapat diketahui secara cepat berdasarkan uji daya tembus akar ke lapisan lilin. Varietas-varietas tersebut antara lain Gajahmungkur, Towuti dan IR64.

Selain itu, sistem tanam jajar legowo juga memiliki kelemahan lain yaitu:
1.      Membutuhkan tenaga tanam yang lebih banyak dan waktu tanam yang lebih lama.
2.      Membutuhkan benih yang lebih banyak dengan semakin banyaknya populasi.
3.      Biasanya pada bagian lahan yang kosong di antara barisan tanaman akan lebih banyak ditumbuhi rumput.

Apabila menggunakan tanaga manusia, cara tanam jajar legowo memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan tanam cara tegel, minimal 1,5 kali. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya benih yang harus ditanam atau spot yang harus ditanami pada cara jajar legowo. Jumlah benih yang digunakan juga lebih banyak sekitar 1,5 kali. Pada daerah dimana tenaga kerja kurang atau kecepatan kerja petani/buruh tani rendah, maka tanam jajar legowo lebih sulit diadopsi petani. Pada daerah seperti ini perlu diintroduksi mesin tanam, baik tanam benih langsung maupun tanam pindah (bibit). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan kepuasan petani pengadopsi cara tanam jajar legowo, sehingga selanjutnya akan menikmati kemudahan operasional dan perawatan tanaman, seperti pemupukan, penyiangan, penyemprotan hama penyakit dan gulma yang dapat dilakukan secara lebih cepat dan efektif.

2.      SISTEM TANAM SRI (SYSTEM OF RICE INTENCIFICATION)
Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi budidaya yang mampu untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan
SRI (System of Rice Intencification) adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
KELEBIHAN
Berdasarkan hasil analisis rata-rata produktivitas usahatani padi sistem SRI mencapai 9,6 ton/ha, sedangkan produktivitas terendah 6,23 ton/ha dan produktivitas tertinggi 10 ton/ha. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi menunjukkan variasi dari sekitar 6 ton sampai 10 ton per hektar. SRI dapat meningkatkan produksi nyata dari 4-6 ton/ha gabah kering panen menjadi 8-12 ton/ha dengan kualitas padi yang dihasilkan lebih baik dengan bertambahnya produk beras kepala dan lebih tahan disimpan. Secara keseluruhan SRI memberikan hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih tinggi, anakan lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman lebih tahan hama dan Penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan kekeringan dan tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih rendah) dan memberikan resiko ekonomi yang lebih rendah.
Tingginya produktivitas padi sistem SRI antara lain karena budidaya padi metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Di sisi lain, tingginya produktivitas usahatani padi metode SRI juga memiliki kaitan dengan teknologi budidayanya. Budidaya usahatani padi dengan metode SRI pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan sistem usahatani padi dengan metode konvensional, yaitu meliputi persiapan tanam, pengolahan lahan, pemeliharaan dan pemanenan.
Berdasarkan potensinya yang tinggi tersebut paket teknologi sistem SRI merupakan terobosan baru dalam menuju produktivitas yang tinggi. Namun sistem tersebut tidak dengan mudah diaplikasikan karena membutuhkan beberapa persyaratan, antara lain sistem tersebut membutuhkan:
(1)   ketersediaan air irigasi yang cukup karena sistem pengairan dibuat berkala
(2)   keahlian teknis yang memadai dalam menanam karena untuk mencapai hasil maksimal setiap lubang hanya dianjurkan satu benih
(3)   kejelian dalam melakukan pengamatan terhadap hama penyakit karena disarankan untuk tidak memaki obat-obatan kimia dalam melakukan pembrantasana hama penyakit
Apabila dibandingkan dengan harga gabah yang ditanam dari sistem biasa maka harga gabah dari padi yang ditanam dengan sistem SRI harganya jauh lebih tinggi. Harga gabah kering sawah (HGKS) dari tanaman yang ditanam dengan sistem konvensional umumnya rata-rata hanya mencapai Rp. 1500. HGKS dari sistem SRI jauh lebih tinggi dibandingkan dengan HGKS sistem biasa karena adanya perbedaan pada perawatan dan kualitas padi yang dihasilkan. Sistem SRI memerlukan penanganan yang sangat intensif mulai dari pemilihan kualitas benih, penanaman, pemupukan, pengairan sampai pemanenan. Benih yang digunakan harus bersertifikat. Pengariaran harus dilakukan secara berkala dengan kondisi air tidak boleh menggenangi tanaman. Pengendalian hama dan penyakit sedapat mungkin tidak memakai bahan kimia.
Berdasarkan perlakuan sistem SRI yang begitu intensif dan mengarah pada pertanian organik, maka HGKS yang ditawarkan juga tinggi. Beras yang diperoleh dari sisitem SRI sejak awal sudah diorientasikan untuk kalangan menengah ke atas. Berdasarkan harga outputnya, maka padi sistem SRI mempunyai potensi untuk dikembangkan dikemudian hari.
Sistem SRI memiliki keunggulan untuk diterapkan dibandingkan dengan sistem konvensional. Adapun kelebihan usahatani sistem SRI dibandingkan dengan sistem konvensional adalah sebagai berikut.
No
Komponen
Sistem konvensional
Sistem SRI
1
Kebutuhan benih
30-40 kg/ha
5-7 kg/ha
2
Pengujian benih
Tidak dilakukan
Dilakukan
3
Umur dipersemaian
20-30 hari setelah tanam (HSS)
7-10 HSS
4
Pengolahan lahan
2-3 kali (struktur lumpur)
3 kali (struktur lumpur dan rata
5
Jumlah bibit perlubang
Rata-rata 5 pohon
1 pohon
6
Posisi akan waktu tanam
Tidak teratur
Posisi akan horizontal
7
Pengairan
Terus digenangi
Dilakukan secara berkala (3 atau 5 sekali) dan tidak menggenang
8
Pemupukan
Mengutamakan pupuk kimia
Mengutamakan pupuk organik
9
Penyiangan
Diarahkan pada pembrantasan gulma
Diarahkan pada pengelolaan perakaran
10
Rendemen hasil
50-60 %
60-70 %
11
Produktivitas
5 ton/ha
10 ton/ha

Berdasarkan tabel diatas, maka kelebihan usahatani padi metode SRI dibandingkan dengan usahatani padi dengan cara konvensional adalah sebagai berikut:
1.      Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2.      Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, kekurangan tenaga tanam dll.
3.      Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal.
4.      Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5.      Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan mikroorganisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.

KELEMAHAN

Model SRI lebih boros dalam penggunaan kompos. Kalau biaya kompos diperhitungkan maka usahatani padi model SRI akan menghasilkan sedikit keuntungan. Kurangnya ketersediaan pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya.Oleh karena itu, petani hanya mampu menerapkan SRI pada 30-50 persen lahannya. Selain itu, paket teknologi yang diterapkan dalam usahatani SRI secara nyata telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan input. Selain itu juga terjadi penghematan benih. Jika pada cara konvensional kebutuhan benih mencapai 25-30 kg per hektar, dalam pola SRI hanya sekitar 5-7 kg per hektar.

Kendala yang akan dihadapi pada saat pengembangan pola SRI pada skala luas, terkait dengan ketersediaan bahan baku kompos untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan terhadap jumlah tenaga kerja untuk tanam yang sangat terbatas serta penanganan hasil produksi gabah dan pasar beras organik. Kendala teknis atas penerapan komponen SRI secara umum juga akan dialami pada kegiatan penanaman padi bibit muda, tanam dangkal dan penanaman sebatang yang menjadi risiko paling besar dalam pelaksanaan di lapangan, terutama pada saat turun hujan atau lahan tergenang sehingga harus dilakukan penyulaman serta penambahan biaya tenaga kerja, pada saat terjadinya serangan OPT.

Pengembangan usahatani padi model SRI secara massal juga harus mempertimbangkan dampak positif dan negatif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lain secara keseluruhan, mengingat kegiatan usahatani padi juga sangat terkait dengan berbagai kegiatan pendukung baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga diperlukan upaya yang bijak dari semua pihak yang terkait di dalamnya agar tujuan pencapaian peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama kegiatan usahatani dapat terwujud.





DAFTAR PUSTAKA

Ikhwani, Gagad Restu Pratiwi, Eman Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. Bogor: Jurnal IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 8, No. 2:73-79

Darmadji. 2011. Analisis Kinerja Usahatani Padi Dengan Metode System of Rice Intencification (SRI) Di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Malang: Jurnal Widya Agrika. Vol. 9, No. 3:1-18

Indria Ukrita, Feri Musharyadi dan Silfia. 2011. Analisa Perilaku Petani Dalam Penerapan Penanaman Padi Metode SRI (System of Rice Intencification). Jurnal Penelitian Lumbung. Vol. 10, No. 2:120-127










Rabu, 26 April 2017

Mulsa Pada Budidaya Tanaman Kakao

MULSA PADA BUDIDAYA TANAMAN KAKAO
MATA KULIAH DASAR BUDIDAYA TANAMAN











Nama            : Mayang Putri Rinda Pratiwi
NIM             : 165040101111052
Kelas            : X
Prodi            : Agribisnis





PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang mulsa dalam pembudidayaan tanaman kakao ini dengan baik.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.



Malang, 10 Maret 2017
        
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Mulsa juga bisa diartikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan mikro tanah yang ditutupi tersebut. Bahan-bahan dari mulsa dapat berupa sisa-sisa tanaman atau bagian tanaman yang dikelompokkan sebagai mulsa organik dan bahan-bahan sintesis berupa plastik yang dikelompokkan sebagai mulsa anorganik. Pada umumnya mulsa ialah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban, struktur, kesuburan tanah, serta menghambat pertumbuhan gulma atau rumput liar (Maharany, 2011).
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Tanaman kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tanaman kakao merupakan jenis tanaman tahunan (perennial) yang berbentuk pohon, dimana di alam jika dibiarkan tumbuh secara alami tinggi pohonnya dapat mencapai 10 meter (Depparaba, 2002).
Dalam beberapa kegiatan pertanian adakalanya akan membutuhkan sarana dan prasarana khusus. Pemakaian mulsa mempunyai keuntungan dalam beberapa budidaya tanaman sekaligus memberikan dampak yang buruk jika salah dalam pemakaian mulsa. Oleh karena itu pengetahuan tentang mulsa sangat perlu diketahui untuk membantu meningkatan hasil produksi pertanian (Maharany, 2011).
1.2  Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dan jenis-jenis mulsa?
2.      Bagaimana pembudidayaan tanaman kakao?
3.      Bagaimana mulsa yang digunakan pada budidaya tanaman kakao?
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan jenis-jenis mulsa
2.      Mengetahui cara pembudidayaan tanaman kakao
3.      Mengetahui mulsa yang digunakan pada budidaya tanaman kakao

1.4  Manfaat
Makalah ini memberi manfaat dalam memahami pengertian dan jenis-jenis mulsa, cara pembudidayaan tanaman kakao, serta mulsa yang digunakan pada tanaman budidaya kakao.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Jenis-jenis Mulsa
Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Mulsa juga bisa diartikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan mikro tanah yang ditutupi tersebut. Bahan-bahan dari mulsa dapat berupa sisa-sisa tanaman atau bagian tanaman yang dikelompokkan sebagai mulsa organik dan bahan-bahan sintesis berupa plastik yang dikelompokkan sebagai mulsa anorganik. Pada umumnya mulsa ialah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban, struktur, kesuburan tanah, serta menghambat pertumbuhan gulma atau rumput liar (Maharany, 2011).
Pemakaian mulsa akan memberikan dampak yang baik / bermanfaat pada produksi tanaman. Manfaat mulsa diantaranya adalah:
  • Meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroorganisme tanah), sehingga memperbaiki sifat fisika, kimia maupun biologi tanah.
  • Membantu menjaga suhu tanah serta mengurangi penguapan sehingga mempertahankan kelembaban tanah dan pemanfaatan kelembaban tanah menjadi lebih efisien.
  • Menekan pertumbuhan gulma, sehingga mengurangi biaya tenaga kerja untuk penyiangan.
  • Melindungi permukaan tanah dari guyuran air hujan, mengurangi aliran permukaan, erosi dan kehilangan tanah.
  • Mulsa yang berupa sisa-sisa tanaman menjadi sumber bahan organik tanah.
  • Mulsa dapat melindungi tanah dari terpaan hujan, erosi, menjaga struktur, menambah kesuburan tanah serta menghambat pertumbuhan gulma.
Mulsa dibedakan menjadi dua macam dilihat dari bahan asalnya, yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik/non-organik. Bahan mulsa dari sisa-sisa tanaman atau bagian tanaman dikelompokkan sebagai mulsa organik, sedangkan bahan mulsa  sintetis berupa plastik dikelompokkan sebagai mulsa anorganik. Jenis-jenis mulsa dapat dibedakan sebagai berikut.
1.      Mulsa organik adalah mulsa dari bahan sisa-sisa tanaman yang disebar di permukaan tanah. Sisa tanaman dapat berupa serasah tanaman (gulma), cabang, ranting, batang maupun daun-daun sisa tanaman. Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman misalnya jerami dan alang-alang. Mulsa organik diberikan setelah tanaman/bibit ditanam. Keuntungan mulsa organik adalah lebih ekonomis (murah), mudah didapat, dan dapat terurai dengan mudah sehingga menambah kandungan bahan organik dalam tanah. Contoh mulsa organik adalah alang-alang/jerami, ataupun cacahan batang dan daun dari tanaman jenis rumput-rumputan lainnya.

2.      Mulsa anorganik adalah material penutup tanaman budidaya yang terbuat dari bahan sintetis misalnya plastik. Keuntungan menggunakan mulsa plastik diantaranya adalah menghemat tenaga penyiangan, menjaga kelembaban tanah, meningkatkan produksi tanaman, mempercepat masa panen, mencegah hama dan penyakit tanaman, mengurangi penguapan berlebih, mencegah erosi tanah, dan mencegah kehilangan pupuk. Jenis mulsa plastik umumnya dibedakan berdasarkan warna dan intesitas cahaya yang dapat diteruskan. Mulsa plastik ini bisa dibedakan menjadi beberapa macam diantaranya:

·         Mulsa plastik transparan. Tanah yang diberi MPT (Mulsa Plastik Transparan), cahaya yang dipantulkan matahari dan diserap oleh bahan mulsa sangat sedikit. Sebaliknya cahaya yang diteruskan banyak. Hal ini menyebabkan MPT memiliki efek menaikkan suhu tanah.
·         Mulsa plastik putih. MPP (Mulsa Plastik Putih) memantulkan cahaya sekitar 45% sehingga 55% cahaya matahari yang dipantulkan akan diserap secara langsung atau tidak langsung dan akan berinteraksi dengan tanah.
·         Mulsa plastik hitam. Dengan adanya MPH (Mulsa Plastik Hitam), cahaya matahari yang dipantulkan dan diteruskan sangat kecil. Banyaknya cahaya matahari yang diserap dapat mencapai 90%, dari jumlah cahaya matahari yang datang. Cahaya yang diserap tersebut akan dipantukan dalam bentuk panas ke segala arah termasuk tanah.
·         Mulsa plastik hitam perak (MPHP), salah satu permukaan berwarna hitam, permukaan lainnya berwarna perak. MPHP (Mulsa Plastik Hitam Perak) akan menyebabkan cahaya matahari yang dipantulkan cukup besar. Namun, permukaan hitam dari MPPH akan menyebabkan cahaya matahari yang diteruskan menjadi sangat kecil, bahkan mungkin nol. Keadaan ini akan menyebabkan suhu tanah akan tetap rendah.
·         Mulsa plastik perak
·         Mulsa plastik merah
2.2 Cara budidaya tanaman kakao
1.      Persiapan lahan
Persiapan lahan yaitu membersihkan lahan dan menggunakan tanaman penutup tanah seperti tanaman jenis polong-polongan, serta menggunakan tanaman pelindung seperti Lamtoro, Albazia, dan Gleresidae, yang mana tanaman ini ditanam setahun sebelum dilakukan penanaman kakao. Selanjutnya, dilakukan pengolahan tanah yang dilakukan dengan cara mekanis.


2.      Pembibitan
Biji kakao yang digunakan untuk benih adalah buah kakao bagian tengah yang masak dan sehat dari tanaman yang sudah cukup umur, kemudian dibersihkan daging buahnya menggunakan abu dan segera dikecambahkan.
3.      Penanaman
Pada penanaman kakao terlebih dahulu dibuat ajir yaitu bisa dari bambu dengan tinggi 80–100 cm. Jarak tanam yang digunakan berdasarkan pada bahan tanam dan besar pohonnya. Sedangkan jarak tanam pohon pelindungnya adalah 1,5x1,5 meter tergantung areal yang digunakan. Dalam penanaman tanaman kakao ada empat pola tanam yang biasa digunakan yaitu:
(1) pola tanam kakao segi empat, dan pohon pelindung segi empat
(2) pola tanam kakao segi empat dan pohon pelindung segi tiga
(3) pola tanam kakao berpagar ganda dan pohon pelindung segitiga
(4) pola tanam kakao berpagar ganda dan pohon pelindung segi empat.
4.      Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman kakao yang dilakukan adalah dengan melakukan pemangkasan, penyiangan, penyiraman, pemupukan, serta pengendalian dari hama dan penyakit.
5.      Panen dan pasca panen
Panen dilakukan dengan cara memetik buah kakao yang masak dengan memotong tangkai buahnya dan menyisakan sepertiga bagian tangkai buah. Buah kakao yang dipetik berumur 5 – 6 bulan sejak berbunga, dan ditandai dengan warna kuning atau merah. Buah kakao yang sudah dipetik dimasukkan ke dalam karung kemudian dilakukan pemecahan buah untuk mengumpulkan bijinya. Hasilnya bisa diolah dengan melakukan fermentasi, pengeringan, dan sortasi.

2.3 Mulsa yang digunakan pada tanaman kakao

            Serasah kakao membutuhkan waktu dekomposisi yang relatif lama jika dibiarkan begitu saja. Selain itu, serasah kakao yang menutupi tanah akan menyebabkan tanah menjadi lembab dan dapat menjadi tempat berkembangnya hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snell) (Depparaba, 2002).
            Serasah kakao jika dimanfaatkan dengan benar, akan berguna bagi perbaikan sifat tanah sehingga siklus hara di dalam kebun kakao dapat tetap terjaga. Sifat tanah yang baik memiliki daya menahan air dengan baik, serta mempunyai drainase dan aerasi tanah yang baik, sehingga tidak membatasi pertumbuhan akar dan tanaman. Selain itu, tanaman kakao juga membutuhkan tanah dengan sifat kimia yang baik, yakni mengandung bahan organik yang tinggi, pH netral, dan kaya akan unsur hara. Salah satu metode penggunaan serasah kakao adalah dengan membuat mulsa vertikal (Darmawijaya, 1997).
           
Metode pembuatan mulsa vertikal yang menggunakan bahan serasah kakao dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) yang lebih baik dibandingkan metode biopori dan tanpa perlakuan mulsa. Hal ini disebabkan karena metode mulsa vertikal memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan teknik biopori, sehingga jumlah mikroorganisme tanah lebih banyak dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Berdasarkan sifat fisik tanah, metode menggunakan mulsa vertikal mampu memperbaiki bulk density dan permeabilitas tanah. Perbaikan sifat fisik tanah tidak hanya pada lapisan permukaan saja, tetapi sampai ke lapisan yang lebih dalam. Sedangkan pada sifat kimia tanah, penambahan bahan organik kedalam tanah akan meningkatkan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) didalam tanah. Selain itu, bahan organik merupakan sumber hara makro dan mineral lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Secara biologi, penambahan bahan organik ke dalam tanah akan meningkatkan populasi dan aktivitas mikrobia tanah yang pada akhirnya akan meningkatkan unsur hara penting bagi tanaman didalam tanah (Maharany, 2011).
            Cara membuat mulsa vertikal cukup mudah. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan mulsa tersebut ke dalam saluran atau alur sesuai kontur dan sebaiknya dikombinasikan dengan pembuatan guludan (Kemenhut, 2012).
·         Pertama, buat lubang dengan ukuran panjang 1 meter, lebar 0.5 meter, dan kedalaman 0.5 meter.
·         Kedua, masukkan daun dan dahan kakao kering di dalam lubang. Penambahan serasah kakao tidak boleh terlalu padat agar aerasi udara dapat optimal.
·         Ketiga, tambahkan daun dan dahan kering ketika permukaan mulai menyusut, biasanya dua minggu setelah pemberian bahan organik pertama.
·         Keempat, angkat bahan organik jika sudah berwarna hitam dan menjadi kompos, kemudian ganti bahan organik yang baru. Biasanya setelah 1.5 bulan tergantung kelembaban tanah dan curah hujan.
Pemberian mulsa vertikal yang diberikan pada tanaman kakao sebelum umur tiga tahun mampu meningkatkan daya serap tanah terhadap aliran permukaan hingga 71% dan pengurangan erosi tanah sebesar 87%. Kakao pada umur tersebut masih berada di dalam tahap perkembangan vegetatif, yakni tahapan perkembangan akar, daun dan batang baru. Pada fase ini terjadi tiga proses penting, yakni pembelahan sel, perpanjangan sel, dan tahap pertama dari diferensiasi sel. Pada tahap ini juga bersamaan dengan pemeliharaan tanaman dengan melakukan pemangkasan, sehingga bahan serasah akan cukup terpenuhi sebagai bahan mulsa vertikal (Monde, 2010).



BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Mulsa adalah bahan penutup tanaman yang digunakan untuk menjaga kelembaban tanah dan mengurangi intensitas matahari yang masuk dalam tanah yang akan merangsang tumbuhan yang tidak tahan intensitas matahari. Mulsa bermanfaat untuk mencegah dari gulma-gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Mulsa dibagi menjadi 2 jenis yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik. Mulsa yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kakao adalah mulsa vertikal yang terbuat dari bahan serasah kakao. Metode pembuatan mulsa vertikal yang menggunakan bahan serasah kakao ini dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) yang lebih baik dibandingkan metode biopori dan tanpa perlakuan mulsa.






DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah: Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Depparaba, Fedrik. 2002. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella) Snell) dan Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 21 (2). 69-74
Kementerian Kehutanan. 2012. Mulsa Daun Kering, Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman(online). Diakses tanggal 9 Maret 2017 pada http://forplan.or.id/images/File/serasah%20booklet2222.pdf
Maharany, Rina, Abdul Rauf, dan T. Sabrina. 2011. Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao pada Berbagai Kemiringan Lahan dengan Menggunakan Teknik Biopori dan Mulsa Vertikal. Jurnal Ilmu Pertanian Kultivar. Vol 5 (2). 75-82

Monde, Anthon. 2010. Pengendalian Aliran Permukaan dan Erosi pada Lahan Berbasis Kakao di DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng. Vol 3 (2). 131-136