PERBANDINGAN
ANTARA SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DENGAN SISTEM TANAM SRI (SYSTEM OF RICE
INTENCIFICATION)
1.
SISTEM
TANAM JAJAR LEGOWO
Sistem tanam
jajar legowo memiliki jumlah rumpun per satuan luas lebih banyak dibandingkan
cara tanam tegel yang setara, misalnya tanam tegel 25 cm x 25 cm memiliki
populasi 160.000 rumpun per ha, sedangkan legowo 2:1 yang setara dengan 25-50
cm x 12,5 cm memiliki populasi 213.333 rumpun. Orientasi pertanaman jajar
legowo meskipun pada populasi yang sama berpeluang menghasilkan gabah yang
lebih tinggi karena lebih banyaknya fotosintesis yang terjadi, karena lebih
efektifnya pertanaman menangkap radiasi surya dan mudahnya difusi gas CO2 untuk
fotosintesis
Sistem tanam
jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen agronomis tanaman, terutama
pada jumlah anak maksimum dan jumlah anakan produktif. Sedangkan pada tinggi
tanaman pengaruhnya tidak nyata. Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata
terhadap komponen hasil dan hasil, terutama pada panjang malai, jumlah gabah
per malai, dan hasil gabah kering panen, dan tidak berpengaruh nyata pada
persentase gabah hampa serta bobot 1000 butir. Sistem tanam jajar legowo dapat
meningkatkan hasil gabah kering panen sekitar 19,90-22%. Untuk mendapatkan
hasil yang optimal disarankan menggunakan sistem tanam secara jajar legowo.
Sistem tanam
jajar legowo (jarwo) merupakan sistem tanam yang memperhatikan larikan tanaman
dan merupakan tanam berselang seling antara dua atau lebih baris tanaman padi
dan satu baris kosong. Tujuannya agar populasi tanaman per satuan luas dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan. Pola tanam legowo menurut bahasa Jawa
berasal dari kata “lego” yang berarti
luas dan “dowo” atau panjang. Cara
tanam ini pertama kali diperkenalkan oleh Bapak Legowo, Kepala Dinas Pertanian
kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada prinsipnya sistem tanam jajar legowo
adalah meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Sistem tanam ini
juga memanipulasi tata letak tanaman, sehingga rumpun tanaman sebagian besar
menjadi tanaman pinggir. Tanaman padi yang berada di pinggir akan mendapatkan
sinar matahari yang lebih banyak, sehingga menghasilkan gabah lebih tinggi dengan
kualitas yang lebih baik. Pada cara tanam legowo 2:1, setiap dua baris tanaman
diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak barisan, namun jarak
tanam dalam barisan dipersempit menjadi setengah jarak tanam aslinya.
KELEBIHAN
Jarak tanam yang
lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dan dapat
meningkatkan hasil biji. Lebih lebarnya jarak antar barisan dapat memperbaiki
total radiasi cahaya yang ditangkap oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil.
Oleh sebab itu, penerapan sistem tanam jajar legowo yang sesuai dengan kondisi
lingkungan setempat hampir dapat dipastikan akan meningkatkan produktivitas
tanaman padi dan keuntungan bagi petani, sedangkan perluasannya secara nasional
dapat meningkatkan produksi padi.
Jarak tanam yang
optimum akan memberikan pertumbuhan bagian atas tanaman dan pertumbuhan bagian
akar yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari serta
memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam yang terlalu
rapat akan mengakibatkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang sangat hebat
dalam hal cahaya matahari, air, dan unsur hara. Akibatnya, pertumbuhan tanaman
terhambat dan hasil tanaman rendah.
Sistem tanam
jajar legowo menjadikan semua tanaman atau lebih banyak menjadi tanaman
pinggir. Tanaman pinggir akan memperoleh sinar matahari lebih banyak, sirkulasi
udara yang lebih baik, dan tanaman akan memperoleh unsur hara yang lebih banyak
dibandingkan dengan cara tanam tegel. Populasi yang lebih tinggi pada sistem
tanam jajar legowo memberi peluang untuk mendapatkan hasil yang tinggi.
Keragaan varietas pada jarak tanam lebar (40cm x 40cm) berbeda dibandingkan
dengan jarak tanam rapat terutama pada jumlah malai. Adanya lorong kosong pada
sistem legowo mempermudah pemeliharaan tanaman, seperti pengendalian gulma dan
pemupukan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Jarak tanam mempengaruhi panjang
malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per ha tanaman padi.
KELEMAHAN
Kelemahan sistem
tanam jajar legowo, adalah senyawa fenolat yang bersifat allelopati dalam
jerami dan akar tanaman. Dari 10 varietas padi yang diuji memiliki asam fenolat
dalam tanaman berkisar antara 260 ppm (pada varietas IR64) hingga 777 ppm (pada
varietas Merning) yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan tanaman pada
jarak tanam rapat, maupun residunya bagi pertanaman berikutnya. Jenis padi
Javanica dan padi beras merah memiliki senyawa alelo kimia yang tinggi sehingga
tidak sesuai untuk tanam rapat. Selain itu, pada sistem tanam jajar legowo,
persaingan perakaran tanaman dalam penyerapan air dan hara berlangsung
intensif. Oleh sebab itu, varietas padi yang toleran kekeringan atau adaptif
pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah berpotensi menghasilkan gabah yang
lebih tinggi pada cara tanam jajar legowo dibandingkan dengan cara tegel.
Varietas padi yang relatif toleran kekeringan dapat diketahui secara cepat
berdasarkan uji daya tembus akar ke lapisan lilin. Varietas-varietas tersebut
antara lain Gajahmungkur, Towuti dan IR64.
Selain itu,
sistem tanam jajar legowo juga memiliki kelemahan lain yaitu:
1. Membutuhkan
tenaga tanam yang lebih banyak dan waktu tanam yang lebih lama.
2. Membutuhkan
benih yang lebih banyak dengan semakin banyaknya populasi.
3. Biasanya
pada bagian lahan yang kosong di antara barisan tanaman akan lebih banyak
ditumbuhi rumput.
Apabila
menggunakan tanaga manusia, cara tanam jajar legowo memerlukan waktu lebih lama
dibandingkan dengan tanam cara tegel, minimal 1,5 kali. Hal ini disebabkan oleh
lebih banyaknya benih yang harus ditanam atau spot yang harus ditanami pada
cara jajar legowo. Jumlah benih yang digunakan juga lebih banyak sekitar 1,5
kali. Pada daerah dimana tenaga kerja kurang atau kecepatan kerja petani/buruh
tani rendah, maka tanam jajar legowo lebih sulit diadopsi petani. Pada daerah
seperti ini perlu diintroduksi mesin tanam, baik tanam benih langsung maupun
tanam pindah (bibit). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan kepuasan petani
pengadopsi cara tanam jajar legowo, sehingga selanjutnya akan menikmati
kemudahan operasional dan perawatan tanaman, seperti pemupukan, penyiangan,
penyemprotan hama penyakit dan gulma yang dapat dilakukan secara lebih cepat
dan efektif.
2.
SISTEM
TANAM SRI (SYSTEM OF RICE INTENCIFICATION)
Dalam
upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan
terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal. Dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan
produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik. Oleh karena itu diperlukan
suatu teknologi budidaya yang mampu untuk meningkatkan produktivitas lahan
secara berkelanjutan
SRI
(System of Rice Intencification)
adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan
cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Dalam SRI tanaman
diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan
seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi
dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
KELEBIHAN
Berdasarkan
hasil analisis rata-rata produktivitas usahatani padi sistem SRI mencapai 9,6
ton/ha, sedangkan produktivitas terendah 6,23 ton/ha dan produktivitas
tertinggi 10 ton/ha. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi
menunjukkan variasi dari sekitar 6 ton sampai 10 ton per hektar. SRI dapat
meningkatkan produksi nyata dari 4-6 ton/ha gabah kering panen menjadi 8-12
ton/ha dengan kualitas padi yang dihasilkan lebih baik dengan bertambahnya
produk beras kepala dan lebih tahan disimpan. Secara keseluruhan SRI memberikan
hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih tinggi, anakan
lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman
lebih tahan hama dan Penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan
kekeringan dan tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih
rendah) dan memberikan resiko ekonomi yang lebih rendah.
Tingginya
produktivitas padi sistem SRI antara lain karena budidaya padi metode SRI
mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, sangat
mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya.
Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara
melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan
konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional. Di sisi lain, tingginya produktivitas usahatani padi
metode SRI juga memiliki kaitan dengan teknologi budidayanya. Budidaya
usahatani padi dengan metode SRI pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan
sistem usahatani padi dengan metode konvensional, yaitu meliputi persiapan
tanam, pengolahan lahan, pemeliharaan dan pemanenan.
Berdasarkan
potensinya yang tinggi tersebut paket teknologi sistem SRI merupakan terobosan
baru dalam menuju produktivitas yang tinggi. Namun sistem tersebut tidak dengan
mudah diaplikasikan karena membutuhkan beberapa persyaratan, antara lain sistem
tersebut membutuhkan:
(1)
ketersediaan air irigasi yang cukup
karena sistem pengairan dibuat berkala
(2)
keahlian teknis yang memadai dalam
menanam karena untuk mencapai hasil maksimal setiap lubang hanya dianjurkan
satu benih
(3)
kejelian dalam melakukan pengamatan
terhadap hama penyakit karena disarankan untuk tidak memaki obat-obatan kimia
dalam melakukan pembrantasana hama penyakit
Apabila
dibandingkan dengan harga gabah yang ditanam dari sistem biasa maka harga gabah
dari padi yang ditanam dengan sistem SRI harganya jauh lebih tinggi. Harga
gabah kering sawah (HGKS) dari tanaman yang ditanam dengan sistem konvensional
umumnya rata-rata hanya mencapai Rp. 1500. HGKS dari sistem SRI jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan HGKS sistem biasa karena adanya perbedaan pada
perawatan dan kualitas padi yang dihasilkan. Sistem SRI memerlukan penanganan
yang sangat intensif mulai dari pemilihan kualitas benih, penanaman, pemupukan,
pengairan sampai pemanenan. Benih yang digunakan harus bersertifikat.
Pengariaran harus dilakukan secara berkala dengan kondisi air tidak boleh menggenangi
tanaman. Pengendalian hama dan penyakit sedapat mungkin tidak memakai bahan
kimia.
Berdasarkan
perlakuan sistem SRI yang begitu intensif dan mengarah pada pertanian organik,
maka HGKS yang ditawarkan juga tinggi. Beras yang diperoleh dari sisitem SRI
sejak awal sudah diorientasikan untuk kalangan menengah ke atas. Berdasarkan
harga outputnya, maka padi sistem SRI mempunyai potensi untuk dikembangkan
dikemudian hari.
Sistem
SRI memiliki keunggulan untuk diterapkan dibandingkan dengan sistem konvensional.
Adapun kelebihan usahatani sistem SRI dibandingkan dengan sistem konvensional
adalah sebagai berikut.
No
|
Komponen
|
Sistem
konvensional
|
Sistem
SRI
|
1
|
Kebutuhan
benih
|
30-40
kg/ha
|
5-7
kg/ha
|
2
|
Pengujian
benih
|
Tidak
dilakukan
|
Dilakukan
|
3
|
Umur
dipersemaian
|
20-30
hari setelah tanam (HSS)
|
7-10
HSS
|
4
|
Pengolahan
lahan
|
2-3
kali (struktur lumpur)
|
3
kali (struktur lumpur dan rata
|
5
|
Jumlah
bibit perlubang
|
Rata-rata
5 pohon
|
1
pohon
|
6
|
Posisi
akan waktu tanam
|
Tidak
teratur
|
Posisi
akan horizontal
|
7
|
Pengairan
|
Terus
digenangi
|
Dilakukan
secara berkala (3 atau 5 sekali) dan tidak menggenang
|
8
|
Pemupukan
|
Mengutamakan
pupuk kimia
|
Mengutamakan
pupuk organik
|
9
|
Penyiangan
|
Diarahkan
pada pembrantasan gulma
|
Diarahkan
pada pengelolaan perakaran
|
10
|
Rendemen
hasil
|
50-60
%
|
60-70
%
|
11
|
Produktivitas
|
5
ton/ha
|
10
ton/ha
|
Berdasarkan
tabel diatas, maka kelebihan usahatani padi metode SRI dibandingkan dengan
usahatani padi dengan cara konvensional adalah sebagai berikut:
1.
Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan
dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak
sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2.
Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha.
Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit,
kekurangan tenaga tanam dll.
3.
Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12
hss, dan waktu panen akan lebih awal.
4.
Produksi meningkat, di beberapa tempat
mencapai 11 ton/ha.
5.
Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan
kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan
mikroorganisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.
KELEMAHAN
Model SRI lebih
boros dalam penggunaan kompos. Kalau biaya kompos diperhitungkan maka usahatani
padi model SRI akan menghasilkan sedikit keuntungan. Kurangnya ketersediaan
pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak
mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya.Oleh karena itu, petani
hanya mampu menerapkan SRI pada 30-50 persen lahannya. Selain itu, paket
teknologi yang diterapkan dalam usahatani SRI secara nyata telah menyebabkan
terjadinya perubahan penggunaan input. Selain itu juga terjadi penghematan
benih. Jika pada cara konvensional kebutuhan benih mencapai 25-30 kg per
hektar, dalam pola SRI hanya sekitar 5-7 kg per hektar.
Kendala yang
akan dihadapi pada saat pengembangan pola SRI pada skala luas, terkait dengan
ketersediaan bahan baku kompos untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan
terhadap jumlah tenaga kerja untuk tanam yang sangat terbatas serta penanganan
hasil produksi gabah dan pasar beras organik. Kendala teknis atas penerapan
komponen SRI secara umum juga akan dialami pada kegiatan penanaman padi bibit
muda, tanam dangkal dan penanaman sebatang yang menjadi risiko paling besar
dalam pelaksanaan di lapangan, terutama pada saat turun hujan atau lahan
tergenang sehingga harus dilakukan penyulaman serta penambahan biaya tenaga
kerja, pada saat terjadinya serangan OPT.
Pengembangan
usahatani padi model SRI secara massal juga harus mempertimbangkan dampak
positif dan negatif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lain secara
keseluruhan, mengingat kegiatan usahatani padi juga sangat terkait dengan
berbagai kegiatan pendukung baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga diperlukan upaya yang bijak dari semua pihak yang terkait di dalamnya
agar tujuan pencapaian peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama
kegiatan usahatani dapat terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Ikhwani,
Gagad Restu Pratiwi, Eman Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui
Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. Bogor: Jurnal IPTEK Tanaman Pangan.
Vol. 8, No. 2:73-79
Darmadji.
2011. Analisis Kinerja Usahatani Padi
Dengan Metode System of Rice Intencification (SRI) Di Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta. Malang: Jurnal Widya Agrika. Vol. 9, No. 3:1-18
Indria
Ukrita, Feri Musharyadi dan Silfia. 2011. Analisa
Perilaku Petani Dalam Penerapan Penanaman Padi Metode SRI (System of Rice
Intencification). Jurnal Penelitian Lumbung. Vol. 10, No. 2:120-127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar