Rabu, 03 Mei 2017

Sistem Tanam Jarwo (Jajar Legowo) dan SRI (System of Rice Intencification)

PERBANDINGAN ANTARA SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DENGAN SISTEM TANAM SRI (SYSTEM OF RICE INTENCIFICATION)


1.      SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO
Sistem tanam jajar legowo memiliki jumlah rumpun per satuan luas lebih banyak dibandingkan cara tanam tegel yang setara, misalnya tanam tegel 25 cm x 25 cm memiliki populasi 160.000 rumpun per ha, sedangkan legowo 2:1 yang setara dengan 25-50 cm x 12,5 cm memiliki populasi 213.333 rumpun. Orientasi pertanaman jajar legowo meskipun pada populasi yang sama berpeluang menghasilkan gabah yang lebih tinggi karena lebih banyaknya fotosintesis yang terjadi, karena lebih efektifnya pertanaman menangkap radiasi surya dan mudahnya difusi gas CO2 untuk fotosintesis

Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen agronomis tanaman, terutama pada jumlah anak maksimum dan jumlah anakan produktif. Sedangkan pada tinggi tanaman pengaruhnya tidak nyata. Sistem tanam jajar legowo berpengaruh nyata terhadap komponen hasil dan hasil, terutama pada panjang malai, jumlah gabah per malai, dan hasil gabah kering panen, dan tidak berpengaruh nyata pada persentase gabah hampa serta bobot 1000 butir. Sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan hasil gabah kering panen sekitar 19,90-22%. Untuk mendapatkan hasil yang optimal disarankan menggunakan sistem tanam secara jajar legowo.

Sistem tanam jajar legowo (jarwo) merupakan sistem tanam yang memperhatikan larikan tanaman dan merupakan tanam berselang seling antara dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Tujuannya agar populasi tanaman per satuan luas dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan. Pola tanam legowo menurut bahasa Jawa berasal dari kata “lego” yang berarti luas dan “dowo” atau panjang. Cara tanam ini pertama kali diperkenalkan oleh Bapak Legowo, Kepala Dinas Pertanian kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada prinsipnya sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Sistem tanam ini juga memanipulasi tata letak tanaman, sehingga rumpun tanaman sebagian besar menjadi tanaman pinggir. Tanaman padi yang berada di pinggir akan mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak, sehingga menghasilkan gabah lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik. Pada cara tanam legowo 2:1, setiap dua baris tanaman diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak barisan, namun jarak tanam dalam barisan dipersempit menjadi setengah jarak tanam aslinya.


KELEBIHAN

Jarak tanam yang lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji. Lebih lebarnya jarak antar barisan dapat memperbaiki total radiasi cahaya yang ditangkap oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil. Oleh sebab itu, penerapan sistem tanam jajar legowo yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat hampir dapat dipastikan akan meningkatkan produktivitas tanaman padi dan keuntungan bagi petani, sedangkan perluasannya secara nasional dapat meningkatkan produksi padi.

Jarak tanam yang optimum akan memberikan pertumbuhan bagian atas tanaman dan pertumbuhan bagian akar yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari serta memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam yang terlalu rapat akan mengakibatkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang sangat hebat dalam hal cahaya matahari, air, dan unsur hara. Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil tanaman rendah.

Sistem tanam jajar legowo menjadikan semua tanaman atau lebih banyak menjadi tanaman pinggir. Tanaman pinggir akan memperoleh sinar matahari lebih banyak, sirkulasi udara yang lebih baik, dan tanaman akan memperoleh unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan cara tanam tegel. Populasi yang lebih tinggi pada sistem tanam jajar legowo memberi peluang untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Keragaan varietas pada jarak tanam lebar (40cm x 40cm) berbeda dibandingkan dengan jarak tanam rapat terutama pada jumlah malai. Adanya lorong kosong pada sistem legowo mempermudah pemeliharaan tanaman, seperti pengendalian gulma dan pemupukan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Jarak tanam mempengaruhi panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per ha tanaman padi.

KELEMAHAN

Kelemahan sistem tanam jajar legowo, adalah senyawa fenolat yang bersifat allelopati dalam jerami dan akar tanaman. Dari 10 varietas padi yang diuji memiliki asam fenolat dalam tanaman berkisar antara 260 ppm (pada varietas IR64) hingga 777 ppm (pada varietas Merning) yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan tanaman pada jarak tanam rapat, maupun residunya bagi pertanaman berikutnya. Jenis padi Javanica dan padi beras merah memiliki senyawa alelo kimia yang tinggi sehingga tidak sesuai untuk tanam rapat. Selain itu, pada sistem tanam jajar legowo, persaingan perakaran tanaman dalam penyerapan air dan hara berlangsung intensif. Oleh sebab itu, varietas padi yang toleran kekeringan atau adaptif pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah berpotensi menghasilkan gabah yang lebih tinggi pada cara tanam jajar legowo dibandingkan dengan cara tegel. Varietas padi yang relatif toleran kekeringan dapat diketahui secara cepat berdasarkan uji daya tembus akar ke lapisan lilin. Varietas-varietas tersebut antara lain Gajahmungkur, Towuti dan IR64.

Selain itu, sistem tanam jajar legowo juga memiliki kelemahan lain yaitu:
1.      Membutuhkan tenaga tanam yang lebih banyak dan waktu tanam yang lebih lama.
2.      Membutuhkan benih yang lebih banyak dengan semakin banyaknya populasi.
3.      Biasanya pada bagian lahan yang kosong di antara barisan tanaman akan lebih banyak ditumbuhi rumput.

Apabila menggunakan tanaga manusia, cara tanam jajar legowo memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan tanam cara tegel, minimal 1,5 kali. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya benih yang harus ditanam atau spot yang harus ditanami pada cara jajar legowo. Jumlah benih yang digunakan juga lebih banyak sekitar 1,5 kali. Pada daerah dimana tenaga kerja kurang atau kecepatan kerja petani/buruh tani rendah, maka tanam jajar legowo lebih sulit diadopsi petani. Pada daerah seperti ini perlu diintroduksi mesin tanam, baik tanam benih langsung maupun tanam pindah (bibit). Dalam hal ini perlu dipertimbangkan kepuasan petani pengadopsi cara tanam jajar legowo, sehingga selanjutnya akan menikmati kemudahan operasional dan perawatan tanaman, seperti pemupukan, penyiangan, penyemprotan hama penyakit dan gulma yang dapat dilakukan secara lebih cepat dan efektif.

2.      SISTEM TANAM SRI (SYSTEM OF RICE INTENCIFICATION)
Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi budidaya yang mampu untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan
SRI (System of Rice Intencification) adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
KELEBIHAN
Berdasarkan hasil analisis rata-rata produktivitas usahatani padi sistem SRI mencapai 9,6 ton/ha, sedangkan produktivitas terendah 6,23 ton/ha dan produktivitas tertinggi 10 ton/ha. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi menunjukkan variasi dari sekitar 6 ton sampai 10 ton per hektar. SRI dapat meningkatkan produksi nyata dari 4-6 ton/ha gabah kering panen menjadi 8-12 ton/ha dengan kualitas padi yang dihasilkan lebih baik dengan bertambahnya produk beras kepala dan lebih tahan disimpan. Secara keseluruhan SRI memberikan hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih tinggi, anakan lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman lebih tahan hama dan Penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan kekeringan dan tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih rendah) dan memberikan resiko ekonomi yang lebih rendah.
Tingginya produktivitas padi sistem SRI antara lain karena budidaya padi metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Di sisi lain, tingginya produktivitas usahatani padi metode SRI juga memiliki kaitan dengan teknologi budidayanya. Budidaya usahatani padi dengan metode SRI pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan sistem usahatani padi dengan metode konvensional, yaitu meliputi persiapan tanam, pengolahan lahan, pemeliharaan dan pemanenan.
Berdasarkan potensinya yang tinggi tersebut paket teknologi sistem SRI merupakan terobosan baru dalam menuju produktivitas yang tinggi. Namun sistem tersebut tidak dengan mudah diaplikasikan karena membutuhkan beberapa persyaratan, antara lain sistem tersebut membutuhkan:
(1)   ketersediaan air irigasi yang cukup karena sistem pengairan dibuat berkala
(2)   keahlian teknis yang memadai dalam menanam karena untuk mencapai hasil maksimal setiap lubang hanya dianjurkan satu benih
(3)   kejelian dalam melakukan pengamatan terhadap hama penyakit karena disarankan untuk tidak memaki obat-obatan kimia dalam melakukan pembrantasana hama penyakit
Apabila dibandingkan dengan harga gabah yang ditanam dari sistem biasa maka harga gabah dari padi yang ditanam dengan sistem SRI harganya jauh lebih tinggi. Harga gabah kering sawah (HGKS) dari tanaman yang ditanam dengan sistem konvensional umumnya rata-rata hanya mencapai Rp. 1500. HGKS dari sistem SRI jauh lebih tinggi dibandingkan dengan HGKS sistem biasa karena adanya perbedaan pada perawatan dan kualitas padi yang dihasilkan. Sistem SRI memerlukan penanganan yang sangat intensif mulai dari pemilihan kualitas benih, penanaman, pemupukan, pengairan sampai pemanenan. Benih yang digunakan harus bersertifikat. Pengariaran harus dilakukan secara berkala dengan kondisi air tidak boleh menggenangi tanaman. Pengendalian hama dan penyakit sedapat mungkin tidak memakai bahan kimia.
Berdasarkan perlakuan sistem SRI yang begitu intensif dan mengarah pada pertanian organik, maka HGKS yang ditawarkan juga tinggi. Beras yang diperoleh dari sisitem SRI sejak awal sudah diorientasikan untuk kalangan menengah ke atas. Berdasarkan harga outputnya, maka padi sistem SRI mempunyai potensi untuk dikembangkan dikemudian hari.
Sistem SRI memiliki keunggulan untuk diterapkan dibandingkan dengan sistem konvensional. Adapun kelebihan usahatani sistem SRI dibandingkan dengan sistem konvensional adalah sebagai berikut.
No
Komponen
Sistem konvensional
Sistem SRI
1
Kebutuhan benih
30-40 kg/ha
5-7 kg/ha
2
Pengujian benih
Tidak dilakukan
Dilakukan
3
Umur dipersemaian
20-30 hari setelah tanam (HSS)
7-10 HSS
4
Pengolahan lahan
2-3 kali (struktur lumpur)
3 kali (struktur lumpur dan rata
5
Jumlah bibit perlubang
Rata-rata 5 pohon
1 pohon
6
Posisi akan waktu tanam
Tidak teratur
Posisi akan horizontal
7
Pengairan
Terus digenangi
Dilakukan secara berkala (3 atau 5 sekali) dan tidak menggenang
8
Pemupukan
Mengutamakan pupuk kimia
Mengutamakan pupuk organik
9
Penyiangan
Diarahkan pada pembrantasan gulma
Diarahkan pada pengelolaan perakaran
10
Rendemen hasil
50-60 %
60-70 %
11
Produktivitas
5 ton/ha
10 ton/ha

Berdasarkan tabel diatas, maka kelebihan usahatani padi metode SRI dibandingkan dengan usahatani padi dengan cara konvensional adalah sebagai berikut:
1.      Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2.      Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, kekurangan tenaga tanam dll.
3.      Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal.
4.      Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5.      Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan mikroorganisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.

KELEMAHAN

Model SRI lebih boros dalam penggunaan kompos. Kalau biaya kompos diperhitungkan maka usahatani padi model SRI akan menghasilkan sedikit keuntungan. Kurangnya ketersediaan pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya.Oleh karena itu, petani hanya mampu menerapkan SRI pada 30-50 persen lahannya. Selain itu, paket teknologi yang diterapkan dalam usahatani SRI secara nyata telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan input. Selain itu juga terjadi penghematan benih. Jika pada cara konvensional kebutuhan benih mencapai 25-30 kg per hektar, dalam pola SRI hanya sekitar 5-7 kg per hektar.

Kendala yang akan dihadapi pada saat pengembangan pola SRI pada skala luas, terkait dengan ketersediaan bahan baku kompos untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan terhadap jumlah tenaga kerja untuk tanam yang sangat terbatas serta penanganan hasil produksi gabah dan pasar beras organik. Kendala teknis atas penerapan komponen SRI secara umum juga akan dialami pada kegiatan penanaman padi bibit muda, tanam dangkal dan penanaman sebatang yang menjadi risiko paling besar dalam pelaksanaan di lapangan, terutama pada saat turun hujan atau lahan tergenang sehingga harus dilakukan penyulaman serta penambahan biaya tenaga kerja, pada saat terjadinya serangan OPT.

Pengembangan usahatani padi model SRI secara massal juga harus mempertimbangkan dampak positif dan negatif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lain secara keseluruhan, mengingat kegiatan usahatani padi juga sangat terkait dengan berbagai kegiatan pendukung baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga diperlukan upaya yang bijak dari semua pihak yang terkait di dalamnya agar tujuan pencapaian peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama kegiatan usahatani dapat terwujud.





DAFTAR PUSTAKA

Ikhwani, Gagad Restu Pratiwi, Eman Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. Bogor: Jurnal IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 8, No. 2:73-79

Darmadji. 2011. Analisis Kinerja Usahatani Padi Dengan Metode System of Rice Intencification (SRI) Di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Malang: Jurnal Widya Agrika. Vol. 9, No. 3:1-18

Indria Ukrita, Feri Musharyadi dan Silfia. 2011. Analisa Perilaku Petani Dalam Penerapan Penanaman Padi Metode SRI (System of Rice Intencification). Jurnal Penelitian Lumbung. Vol. 10, No. 2:120-127